Dalam
Babad Lombok disebutkan, pada abad ke IX-Xl
disebut bahwa kerajaan kerajaan Lombok yang terakhir adalah Kerajaan Selaparang, dimana
kerajaan selaparang mempunya 2 dekade / periode masa pemerintahan. Yang pertama
adalah Selaparang periode Hindu/Pra Islam yang memerintah dari abad XIII dan
berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Yang
Kedua adalah Selaparang Periode Islam yang muncul pada sekitar abad XVI dan
berakhir 1740 setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem,
Bali dan Banjar Getas.
Setelah
ekspedisi kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang laksamana Nala yang
berlabuh di Pulau Lombok dan Dompu tahun 1357 silam, muncullah kerajaan
kerajaan lain di kepulauan Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur, diantaranya adalah
Kerajaan Bima Sanggar dan Dompu di daerah Barat, serta Kerajaan Utan Kadali,
Saran dan Taliwang di Sumbawa bagian Timur. Sebelum kerajaan kerajaan tersebut
ada, penduduk asli pulau ini hanya berupa kelompok kelompok pemukiman kecil
yang dipimpin oleh seorang kepala Suku. Di kalangan masayarakat Mbojo kepala
suku ini disebut “Niceki” sedangkan di Sumbawa dijuluki “Tau Lokaq” atau bahasa
indonesianya “Orang Tua”.
Berkembangnya
Agama Islam selama pemerintahan kerajaan “Selaparang Periode Islam“ dan munculnya kerajaan kerajaan lain di
daerah Sumbawa ternyata membawa dampak yang luar biasa dalam sejarah Lombok.
Perkembangan ini ternyata mampu mempercepat proses runtuhnya Kerajaan Majapahit
sehingga kerajaan kerajaan yang masih dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit waktu
itu bisa merdeka dan mandiri. Diantaranya adalah Kerajaan Lombok yang berada di
Teluk Lombok (Labuan Lombok masa kini), dimana Kerajaan Lombok inilah yang
beberapa tahun kemudian dijadikan Basis Islamisasi oleh Sunan Prapen yang
merupakan Putra Sunan Giri. Setelah Sunan Prapen menganggap misi dan tugasnya
di Lombok berhasil, beliau kemudian meneruskan misi “Islamisasi” tersebut ke
pulau Sumbawa dengan hasil yang gemilang pula. Sepeninggalnya Sunan Prapen,
atas beberapa pertimbangan dan permintaan yang logis, Prabu Rangkesari (yang
menggantikan tugas Prabu Mumbul Sebagai Raja di Kerajaan Lombok waktu itu)
kemudian memindahkan Ibukota Kerajaan Lombok yang dulunya berada di Teluk
Lombok ke bekas Kerajaan Selaparang Periode Hindu dan mengganti nama Kerajaan
Lombok menjadi Kerajaan Selaparang yang akhirnya kemudian dikenal sebagai
Kerajaan Selaparang Periode Islam.
BAHASA
KAWI DAN SASAK LOMBOK
Dengan
mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den Berg yang
menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya
alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa
sosial politik di Nusantara. Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para
intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi.
Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai
jejawen.
Dengan
modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para
pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin tulisan
Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain
Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Para pujangga
Lombok di masa lalu juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi
para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada
dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang di gubah,
seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan
sebagainya.
Dengan
mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan
mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial
politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial
politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap
seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. “Danta”
artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi.
“Danti” artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat
lagi. “Kusuma” artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali.
“Warsa” artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali
menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah
dalam perkataan.
Selain
itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan
yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan
hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil),
tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama), tuhu (sungguh-sungguh),
bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq
(hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin) dan lain lain.
Bersambung….
-
See more at:
http://www.wisatapulaulombok.org/objek-wisata/sejarah-pulau-lombok.html#sthash.iscgCKxs.dpuf