Oleh : Zaedun
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan
tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak
di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari
nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh
buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk
menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa
tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah
Mulawarman.
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat
kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman,
kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga
diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta,
yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra
Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada
masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai
hidup sejahtera dan makmur.
2. Kerajaan
Tarumanegara
Sumber
sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil
ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara
Cianten dan Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak
informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada kelima prasasti lainnya,
terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari
kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti
Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti
Munjul.
Sumber
sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara
adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang
menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta
Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang.
Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa
Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah
berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada
prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang
ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
3. Kerajaan
Melayu
Kerajaan-kerajaan
Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7. Sejarah mencatat ada
dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan
Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh
informasi tentang kerajaan dari Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan
Melayu merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Berdasarkan
bukti-bukti sejarah yang bias ditemukan, Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat
di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur Sungai Batanghari. Di sepanjang alur
Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa candi dan arca.
Sumber
sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan
Melayu adalah catatan dari seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing
(671-695). Ia menyebutkan bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Melayu yang secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu
terletak ke dalam Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan terdekat antara
India dan Cina. Menurut Kitab Negarakertagama, pada tahun 1275, Raja Kertanegara
dari kerajaan di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke Sumatra. Ekspedisi
tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah
cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali sebagai
pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman
memerintah Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Kemudian, digantikan oleh anaknya Anangwarman.
4. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar Sungai
Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan
Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya,
dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di
Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal
di Sriwijaya antara tahun 685-689 M. Pada tahun 692, ketika I-Tsing, bias
disimpilkan bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan menguasai kerajaan-kerajaan
disekitarnya.
Dari
Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah
Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu.
Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya
wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim
dan perdagangan yang kuat dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah
Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah
perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan
Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa.
Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan
penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan
Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah
perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja
Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti
Ligor.
Raja
kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada
masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya
dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu
disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan
Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya.
Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
5. Kerajaan
Mataram Kuno
Di
wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan
Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi
Mataram yang terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki
banyak pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan
Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah
ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tenggah ke Jawa
Timur disebabkan oleh dua hal.
1.
Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke
Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan
Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
2.
Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau
kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah dianggap tidak layak
lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti
Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna.
Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan
Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan.
Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai
pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya
dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat
Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal
ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di
Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan
berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja
Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan
dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai
Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran
berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno
selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu
itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya
untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada
abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan
politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani
(Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara
Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah
Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik
tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu
Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan
dengan Balaputradewa.
Balaputradewa
mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia
kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal
ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa
Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja
Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah
Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas
kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah
Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan
Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi
Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno
berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan
Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga
jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin
oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya
adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah
Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali
Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa
pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan
menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat
penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang
didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I
Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan
oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan
Majapahit.
Selain
struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti
pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti
Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910,
Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya
pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa
pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama
memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga
mengalami nasib serupa.
Dibawah
pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari
dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik
Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu,
wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi
yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat
diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian
digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti
Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8.
Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan,
antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan
(778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu,
penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi
Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian
memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko
(856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan
kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah
putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada
abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak
oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang
menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja
Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra
muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh
Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja
Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti
Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi
Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga
meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan
Sriwijaya dan menjadi raja disana.
6. Kerajaan Medang Kemulan
Kerajaan
Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara Sungai
Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh
Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang
Kemulan mencakup daerah Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti
yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah
Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di
Tangeran, Bangil, dan Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di
Tangeran, Jombang, menyebutkan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang
Kemulan bersama permaisurinya Sri Wardhani Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok,
sumber sejarah yang lain adalah Prasasti Kalkuta.
Prasasti
bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah
keturunan raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan,
diketahui bahwa sebelum menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan
sebagai Rakai Halu dan Rakai Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok
memerintah Kerajaan Medang Kemulan dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok
memerintah bersama permaisuri yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri
Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau Dyah kebi ini dapat
ditemukan dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.
Dari
Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu
Sindok. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar
Teguh Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun
1016 Kerajaan Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau
Jawa digambarkan mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak
orang yang meninggal, termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu,
Airlangga (menantu Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri
bersama pengawalnya, Narottama. Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama
hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga berhasil menguasasi Kerajaan Medang
Kemulan kembali pada tahun 1019.
Pada
tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan.
Setahun Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun
1032, Raja Wurawari yang dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan.
Setelah musuh-musuhnys dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu
oleh Narottama yang diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian
mengangkat putrinya yang bernama Sanggraman Wijayatunggadewi menjadi Rakryan
Mahamantri i Hino untuk menjadi raja. Namun, rupanya sang putrid tidak
berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.
Dengan
mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan untuk membagi
kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin oleh dua
putranya. Hal itu dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya perang
saudara. Dengan bantuan seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang
Kemulan dibagi dua. Kerajan Jenggala (yang berarti hutan)dan Kerajaan
Panjalu (kediri). Jenggala beribu kota di Kahuripan dan Panjalu beribukota di
Daha.
7. Kerajaan
Kediri
Raja
Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri
Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa
Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara.
Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara
Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa.
Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan
bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah
dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.
Jayabhaya
bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha
Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya,
terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha
yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan
perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan
wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang.
Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui.
Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan
struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para
pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah
atau Kebo. Penggunaan
nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan
Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja
Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra
Jawa. Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak
dihasilkan seperti juga bentu cerita kakawin.
Raja
kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa
pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini
karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum
Brahmana saat itu, di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan baru di
bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana
dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini
dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.
Perang
antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken
Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya
mengakhiri kekuasaan Kerajaan Kediri.
8. Kerajaan Singasari
Sumber
sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno,
seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama.
Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari dan majapahit
yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan
Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana.
Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di
Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan
Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari
istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang
anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari
perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu
Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga
memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul
ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken
Arok.
Pada
tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak
tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan
bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai
untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan
(sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar
Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati
memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh
oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga
dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah
Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian
mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia
tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati.
Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri
Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan
Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak.
Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi
akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan
Singasari kembali kosong.
Setelah
tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya
Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh
anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan
Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana
menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau
Kumararaja (Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai
tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di
dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha
dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah
ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja
Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang
pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan
i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang
pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan
Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa
ri Kasogatan.
Raja
Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia
mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan
Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala
Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai
Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu. Dalam
ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa
ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang
berangka tahun 1286.
Raja
Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya
menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan
Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga
membawa putrid Melayu kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah
seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu
adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan
dari Cina.
Diceritakan
bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut
pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti
atau utusan sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak
mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada
tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K'i dikirim pulang ke Cina
sehingga Kaisar Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk
menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang
dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja
Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat
kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang
dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut
cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat
dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan
mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil
direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
9. Kerajaan Bali
Informasi
tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama
dari prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat
oleh Raja Sri Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali
dari Dinasti Warmadewa. Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali,
ia memerintah Kerajaan Bali yang berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri
Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat
beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837
Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu
kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan).
Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan
pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Pengganti
Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya, ia
berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat
Tampak Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa.
Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu
secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang
ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada
tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu
Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti
ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana,
hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini
disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni,
cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu
banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi
serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah
Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra
kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi
raja Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan
Medang Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa
Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah
kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring
dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti
raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia
mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak
Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan
Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan
dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah
anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini
digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka.
Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang
memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja
Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura
yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini berusaha
mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh
Gajah Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau
1343, Bali dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian
dipindah ke Gelgel dan Klungkung.
Pusat
Kerajaan Pajajaran awalnya terletak didaerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama
Kerajaan Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian
direbut oleh saudara Raja Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan
keluarganya terpaksa meninggalkan keratin. Tidak lama kemudian, Raja Sena
berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajajaran.
Raja
Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan
diperintah oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat
kerajaan dipindahkan ke Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam
Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton
sebagai Perang Bubat.
Ketika
perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas.
Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra
mahkota Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14
tahun. Pada Prasasti Batu Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan
Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan,
lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata,
diperkirakan bahwa di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama
islam. Hal ini tergambar dari tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang
bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan bahwa di wilayah timur kerajaan ini
terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum masuk ke pusat
kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai
mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh
karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk
menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan
yang dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di
Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra Jayadewata.
Setelah
pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus
menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu
Prabu Ratu Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan
Maulana Hasanuddin dan putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan
Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil
menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk
pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian
hidup sebagai suku Badui.
11.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan bercorak Hindu yang
terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja
yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya membuka
hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang berubah pahit.
Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna
permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah
yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya
adalah menantu Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan
Singasari diserbu dan dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil
melarikan diri. Ia mencari perlindungan kepada Bupati Madura yang bernama Arya
Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura, ia membangun pemuliman di Desa
Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan
20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menghukum
Raja Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan
dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah
meninggal dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.
Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut
kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan
menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi
serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat
pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyaka kalau
kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir
armada Cina kembali ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap
sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar
Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah
pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi.
Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun
1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati)
dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama
Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya
Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya
masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan
oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia
kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra
yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan
oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi
Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari
dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa
pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang
paling berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun
pemberontakan itu pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah
itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia
tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia dapat menundukan
Nusantara.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama
Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah
berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk
dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada
diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah
Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit
menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk
pada Majapahit.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik
tolak kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat
dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk juga meninggal pada
tahun 1389. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit
diberikan pada menantunya yang bernama Wikramawardhana (suami dari putri
mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk sebenarnya memiliki putra yang
bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan anak dari permaisuri sehingga tidak
berhak mewarisi tahta Kerajaan Majapahit.
Meskipun demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di
wilayah Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut,
kemungkinan perpecahan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana berhasil
diredam. Masalah kembali timbul ketika tahta Kerajaan Majapahit kembali kosong
setelah Kusumawardhani meninggal dunia pada tahun 1400. Wikramawardhana berniat
untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya, Suhita, menjadi ratu Kerajaan
Majapahit.
Pada tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi
yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru berakhir pada tahun
1406 dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan
Kerajaan Majapahit. Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri. Tidak
ada lagi raja yang kuat dan mampu memerintah kerajaan yang demikian luas.
Menurut catatan. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1500-qn yang
didasarkan pada tahun bersimbol Sima Bang Kertaning Bhumi.
NO:
|
KERAJAAN-KERAJAAN
HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
|
1.
|
Kerajaan
Kutai di
Kalimantan timur tahun 400 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Kudungga Raja yang terkenal : Mulawarman |
2.
|
Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat tahun
500 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Purnawarman |
3.
|
Kerajaan Kalingga di Jepara (Jawa Tengah)
tahun 640 M (Kerajaan Budha)
Raja yang terkenal : Ratu Shima |
4.
|
Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah
tahun 732 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Sanjaya Raja yang terkenal : Balitung |
5.
|
Kerajaan Sriwijaya di Palembang abad VII
(Kerajaan Budha)
Raja yang pertama : Sri Jaya Naga Raja yang terkenal : Bala Putra Dewa |
6.
|
Kerajaan Medang di Jawa Timur abad IX
(Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Empu Sendok: |
7.
|
Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur tahun
1073 M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama dan terkenal : Airlangga |
8.
|
Kerajaan Kediri di tepi Sungai Berantas
Jawa Timur abad XII M (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Jaya Warsa Raja yang terkenal : Jaya Baya |
9.
|
Kerajaan Singasari di Jawa Timur tahun
1222 - 1292
Raja yang pertama : Sri Rajasa (Ken Arok) Raja yang terkenal : Kertanegara (Joko Dolok) |
10.
|
Kerajaan Majapahit di Delta Brantas tahun
1293 - 1520 (Kerajaan Hindu)
Raja yang pertama : Raden Wijaya Raja yang terkenal : Hayam Wuruk Raja yang terakhir : Brawijaya (Kertabumi) Patih yang terkenal : Gajah Mada |
11.
|
Kerajaan Pajajaran di Priangan (Jawa
Barat) tahun 1333 (Kerajaan Hindu)
Raja yang terkenal : Sri Baduga Maharaja Raja yang terakhir : Prabu Sedah |
12.
|
Kerajaan Demak di Jawa Tengah tahun 1513
- 1546 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Raden Patah (Sultan Bintoro) Raja yang terakhir : Sultan Trenggono |
13.
|
Kerajaan Pajang di Surakarta tahun 1568 -
1586 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Joko Tingkir (Sultan Hadiwijoyo) Raja yang terakhir : Ario Pangiri |
14.
|
Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede
(Yogyakarta) abad XVI Masehi (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Suto Wijoyo (Panemabahan Senopati) Raja yang terkenal : Sultan Agung |
15.
|
Kerajaan Banten di Jawa Barat tahun 1556
- 1580 (Kerajaan Islam)
Raja yang pertama : Hasanuddin Raja yang terkenal : Sultan Ageng Raja yang terakhir : Panembahan Yusuf |
|