
Sebagian orang bingung
melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu
kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat
dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi
pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa
cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam
makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan kuantitas perawi.
Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan
oleh kelompok lain.
Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis
hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. Sedangkan mereka
melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan
sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis
Mutawatir
Arti mtawatir dalam
bahasa berarti al-muttatabi berarti, yang datang kemudian, beriring-iringan,
atau beruntung. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu
sebagai:
a. hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang banyak yang mistahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari
sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi
mereka sepakat bohong.
c. Hadis yang didasarkan pada panca indra
(dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai
jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.
Dari definisi diatas
dapat dijelaskan bahwa hadis yang bersifat indrawi (didengar atau dilihar) yang
diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh sanad dan akal
menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak
untuk kebohongan.
2. berdasarkan definisi
diatas ada 4 kriteria hadis mutawatir:
a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis
mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang
jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang
tetap. Jumlah rawy-rawynya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat bohong(Fatctur rahman 1970: 60). Para ulama
berbeda-beda pendapatnya tentang batasan yang diperlukan untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.(Fatctur rahman 1970: 60-61)
1) Abu’t-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya
4 orang, karena diqiyaskan dengan banyak saksi yang diperlukan hakim untuk
memberikan vonis kepada terdakwa.
2) Ash-habu’sy-Syafi’iy menentukan minimal
5orang, karena menqiyaskanya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulu’l
‘azmi.
3) Dsebagai Ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang di firmankan Allah dalam
surat Al-anfal 65, tentang sugesti Tuhan kepada orang-orang Mu’min yang pada
tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 oarng saja mampu mengalahkan orang
kafirsejumlah 200 orang.:
jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. (Al-anfaal:65)
4) Ulama yamg lain menetapkan jumlah
tersbut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan dengan
firman Allah:
Hai nabi, cukuplah
Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.
b. Adanya jumlah banyak pada seluruh
tigkat sanad
Jumlah banyak orang
pada setiap tingkatan sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak
tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan hadis mutawatir,
tetapi dinamakan ahad atau wahid. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus
sama angka nominalnya, mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda namun milai
verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya pada awal tigkat sanad 10 orang,
tingkat sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 oarng, 100 orang dan seterusnya.
Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawatir.
c. Mustahil bersepakat bohong.
Misalnya para perawi
dalam sanad itu datang dari beberapa negara yang berbeda, dan pendapat yang
berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil
terjadi adanya kesepakatan berbohong secara urut (tradsi). Pada masa awal
pertumbuhan hadis, memang tidak bisa di analogikan dengan masa modern masa
sekarng ini. Disamping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih handal,
transportasi antar daerah tidak mudah sekatang, perlu waktu berbulan-bulan
dalam kunjungan kesuatu negara. Berdasarkan ini, jika periwayatan hadis
berjumlah besar sangat sulit nereka sepakat berbohong dalam suatu suatu
periwayatan. Di antara alas an pengingkaran sunnah dalam penolakan mutawatir
adalah penyampaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena
dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan
dengan realita dunia modrn dan kejujuranya yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, apalagi jika ditunggangi oleh masalah politik dan lain-lain. Demikian
halnya belum diakatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak
tetapi masih memungkinkan untuk sepakat berbohong.
d. Sandaran berita itu pada panca indra
Maksud sandaran pancaindra
adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dngan mata dan disentuh
dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal.(Abdul Majid Khan, 2009:
152)
Jumlah hadis mutawatir
tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana yang diduga oleh ibnu
Ash-Shalah atau yang lainya. Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani
menjelaskan, bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyaknya sanad dan
kondisi serta sifat-sifat para perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi
kesepakataan bohong. Hadis mutawatir memang sedikit jumlahnya di bandingkan
dengan hadis ahad tetapi cukup banyak sebagaimana yang dijelaskan pada buku
buku hadis mutawatir yang tenar. Diantaranya hadis tentang telaga (al-hawdh)
diriwayakan oleh 50 orang sahabat, hadis menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan 70
orang sahabat, hadis tentang mengagkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 oarng
sahabat, dan lain-lain.
A. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis
Ahad
Menurut istilah hadis
Ahad adalah: hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis mutawatir.
Perawi hadis Ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka
tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya
diriwayatkan satu, dua, tiga empat dan atau lima yang tidak mencapia mutawatir.
Hadis ahad mempunyai faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan peneliti
dan pemeriksaan terlebuih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu
memiliki sifat-sifat kredebilitas yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.
2. Macam-macam Hadis
Ahad
Pembagian hadis Ahad
ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz, dan ghorib.
a. Hadis masyhur
Dalam bahasa kata
masyhur diartikan tenar, terkenal dan menampakan. Dalam istilah hadis masyuh
terbagi menjadi 2 macam:
1) Masyhur ishthilahi
Hsadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (thobaqoh) pada
beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir. Sebagian
Ulama berpendapat hadis masyhur sinonim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa
diartikan penuh dan tersebar) dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa
mustafidh lebih khusus. Karena dalam mustafidh disyaratkan dua ujung sanadnya
harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih.(fc )
2) Masyhur Ghayru Ishthilahi
Hadis Ghayru Ishthilahi
adalah hadis yang terpopuler atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok
orang tertentu, sekalipun jumlah periwayatan dalam sanad tidak mencapai 3 orang
atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini tidak dilihat dari jumlah para
perawi sebagai mana masyhur Ishthilahi diatas, tetapi tekananya lebih dari
polularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam
bidang ilmu tertentu.
Hukum hadis baik msyhur
maupun ghayru Istilaahii tidak seluruhnya dinyatakan shohih atau tidak shohih,
akan tetapi tergantungkepada hasil pemeriksaan para Ulama. Sebagian hadis
masyhur ada yang shohih, sebagian hasan , dan dho’if, bahkan ada yang maudhu’.
Namun memang diakui bahwa keshohihan hadis masyhur ishthilahi lebih kuat dari
pada keshohihan hais aziz dan ghorib yang diriwayatkan satu atau dua orang
perowi saja.
b. Hadis Aziz
Dari segi bahasa ‘aziz
berasal dari kata, ‘azza, ya’izzu yang berarti sedikit langka atau kuat.
Disebut(sedikit, langka atau kuat) karna sedikit atau langka adanya atau
terkadang menjadi kuat ketika didatangkan sanad laen.( fc)
Sedangkan menurut
istilah hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua
orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqoh saja kemudian setelah itu,
orang-orang pada meriwayatkanya. Menurut ta’rif tersebut, yang dikatakan hadits
Aziz itu, bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawy pada setiap
thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah yang
terakhir harus terdiiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh
sebagian muhaditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqah (lapisanya) saja,
di dapati dua orang rawy. Suadh bisa dikatakan hadis ‘Aziz.(Fatchur Rahman
1987:74). Hukum hadis Aziz adakalanya sahih, hasan dan dha’if tergantung
persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan shahih
atau tidak. Jika memenuhi segala persyaratanya berarti berkhualitas sahih dan
jika tidak memenuhi sebagian atau sekuruh persyaratan maka tergolong hadis
hasan atau dha’if.
c. Hadis Gharib
Dari segi bahasa ghorib
juga bersifat musyabbahah(serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang
berarti sendirian, terisolir jauh darikerabat, perantau, asing, dan sulit
dipahami.
Yang dimaksud hadis
gharib ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan. Dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. .(Fatchur
Rahman 1987:74). Sedang nama lain yang satu arti dengan hadis ghorib dalam
istilah adalah hadis fard. Kata fard dalam bahasa diartikan tunggal dan satu.
Hadis ghorib dan fard mempunyai makna yang sama yaitu hadis yang terdapat hanya
seorang perowi dalam satu tingkatan sanad atau pada sebagian timgkatan sanad
walaupun dalam salah satu tingkatan saja sedangkan pada timgkatan yang laen
lebih dari satu orang.( ) Hadis gharib dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Gharib mutlaq/fard mutlaq
Adalah apabila
keghoriban itu terletak pada asal sanad (asal sanad adalah tabi’in) maka
disebut gharib mutlaq/fardmutlaq, walaupun setelah tabi’I itu banyak yang
meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
2) Gharib nisbi/fard nisbi
Gharib nisbi/fard nisbi
adalah apabila keghariban itu terjadi ditengah sanad, yakni sesudah tabi’in
maka disebut gharib nisby/fard nisby. Seperti beberapa sahabat meriwayatkan
hadis tertentu dan diterima oleh beberapa tabi’in, namun setelah tabi’in itu,
hanya seorang perawi saja yang meriwayatkanya.(Moh. Anwar,1981:26)
Gharib Nisbi terbagi
menjadi 3 maam, yaitu sebagai berikut:
a) Muqoyyad bi
ats-tsiqoh
b) Muqoyyad bi al-balad
c) Muqoyyad bi ar-rowi
3. Kriteria Hadis Ahad
Kriterria hadits
menurut imam madzab:
a. Abu Hanifah mensyaratkan kita utuk
menyaratkan untuk kita mengamalkan kahabar Wahid, syarat-syarat yang tersebut
ini:
1) Perawinya tidak mnyalahi riwayatnya.
Jika rawi menyalahi riwayatnya, maka yang kita turuti, pendapatnya bukan
riwayatnya: karena perawi tidak menylahi riwayatnya, kalau bukan karena ada
keterangan-keterangan yang telah menasahkan.
2) Riwayat itu tidak mengenai soal yang
umum bahwa, karena soal-soal yang umum bahwa tentu diriwayatkan oleh orang
ramai. Lantaran itu, ditolaklah hadis.
3) Riwayat itu tidak menyalahi qiyas.
b. Ulama-ualama Malikiyah tidak
mengamalkan hadis Ahad yang menyalahi amalan-amalan (‘uruf) ulama-ulama
madinah. Lantaran dipandang bahwa amalan-amalan ulama madinah itu, sama dengan
riwayatnya.
c. Asy Syafi’I tidak mensyaratkan
kemasykuran, tidak berlawananya dengan amalan penduduk madinah, dan tiada
menyalahi qiyas. Beliau hanya mensaratkan sanya sanad dengan ittishal. Dan Asy
Safi’i menolak segala hadis mursl, selain dari mursal Ibnul Musaiyah.
d. Ahmad tidak sekali-kali mau
mendahulukan sesuatu pendapat, sesuatu yang qiyas, sesuatu fatwa shahabi dsb.
Atas hadis marfu’
4. Kedudukan Hsadits dalam
berhujjah
Kedudukan hadis Ahad
dalam berhujjah menurut jumhur Ulama:
a. Menurut jumhur ulama hadis ahad wajib
diamalkan jika memenuhi seperangkat persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dahwud
Azh-zahiri, Ibnu Hazm, dan sebagian Muhadditsin berpendapat hadis Ahad ilmu dan
wajib diamalkan. Sedangkan Hanafiyah, Asy Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah
berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah zhann (dugaan kuat, relatif
kebenaranya) dan wajib diamalkan. Jadi semua Ulama meneriama hadis ahad dan
mengamalkanya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali jika pada hadis
tersebut terdapat kecacatan.
b. Sebagian muhaqiqin menetapkan, bahwa
hadis Ahad itu wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’):ibadat, kaffarat
dan hudud (hukum badan ) saja, tidak boleh dipakai dala urusan “aqa-id
(kepercayaan). Gologan ini mengatakan bahwa: “hadis ahad tidak dapat dipakai
untuk menetapkan sesuatu kepercayaan: karena kepercayaan-kepercayaan itu harus
berdalil qath’I, sedang hadis ahad tiada qath’i, dia dhanni semata-mata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian hadis dilihat
dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis
mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau
menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan
standar hadis yang makbul. Hadis ahad masih memerlukan barbagai persyaratan
yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dank
e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita
hadis mutawatir secara absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita
yang dibawa oleh hadis ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan
sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu
sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi
janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang
yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk
(ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat
(rajah) yang mendekati kepada keyakinan, syakk diartikan dugaan yang seimbang
antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah
mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini
dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
Diposkan oleh kumpulan
makalah Islam di 23:11 1 komentar:
MINGGU, 01 NOVEMBER
2009