1. HADIS QUDSI
a. Pengertian Hadis
Qudsi
Secara terminologi
hadis qudsi adalah :
هومانقل اليناعن النبي صل
الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عزوجل
Yaitu hadis yang
diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada
Allah SWT.
Atau :
كل حديث يضيف فيه الرسول
صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.
Setiap hadis yang
disandarkan Rasulullah SAW perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut
menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari
Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi,
meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis Qudsi bukanlah al-Quran.
b. Perbedaan antara
Hadis Qudsiy dan al-Quran
antara al-Quran dan
Hadis Qudsiy terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
1) Al-Quran lafaz dan
maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari
Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW
2) Al-Quran hukum
membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi
ibadah
3) Periwayatan dan
keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi
periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir
4) Al-Quran adalah
mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak
boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis Qudsi bukanlah mukjizat, dan
lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk
diriwayatkan secara makna
5) Al-Quran dibaca di
dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak
c. Perbedaan antara
Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Berdasarkan pengertian
dan criteria yang dimilki hadis Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi
dan hadis Nabawi, yaitu :
Bahwa Hadis Qudsi,
nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi
sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Oleh karena itu,
dihubungkanlah hadis tersebut dengan al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau
dengan al-Ila (maka dinamai Hadis Ilahi)
Sedangkan Hadis Nabawi,
nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya
adalah dari beliau.
عن أبي ذ ررضي الله عنه عن
النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك وتعا لى انه قال : ياعبادي اني حرمت
الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا.
Dari Abi Dzar r.a, dari
Nabi SAW menurut apa yang diriwaytkan beliau dari Allah SWT, bahwasanya Dia
berfirman ," wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharapkan berbuat aniyaya
atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu diantar kamu sebagai perbuatan yang
haram, maka oleh karena itu jangan lah kamu saling berbuat aniaya.
e. Lafadz-lafadz hadis
Qudsi
didalam meriwayatkan
hadis Qudsi, ada dua lafaz yang digunakan, yaitu :
قال رسول الله صلي الله عليه
وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
Bersabda Rasulullah SAW
menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT
قال الله تعالي , فيما رواه
عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .
Berfirman Allah SWT
menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah SAW.
2. HADIS MARFU'
a. Pengertian Hadis
Marfu'
Hadis Marfu' adalah :
مااضيف الى النبي صلى الله
عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.
Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir (ketetapan)
atau sifat.
Dari definisi di atas
dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW,
baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis
Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat.
Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi,
Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
b. Hukum Hadis Marfu'
Hukum hadis Marfu'
tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan
demikian memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus shahi, hasan, atau
dhaif.
3. HADIS MAUQUF
a. Pengertian Hadis
Mauquf
Beberapa ulama hadis
memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصحابي من
قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.
Yaitu segala sesuatu
yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir
beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.
ما أضيف الى الصحا بي من
قول أو فعل أو تقو ير.
Sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan atau
dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf, dan sanad hadis mauquf tersebut boleh
jadi muttashil atau munqathi.
Contoh hadis mauquf :
قول البخاري : قال علي بن
أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون ان يكذب الله ورسوله.
Bukhari berkata,
"Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang apa yang
diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya
didustai."
قول البخاري : وأم أنُِِِ
عَباس وهوميمم.
Bukhari berkata,
"dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat sedangkan dia
bertayamum."
Para Fuqoha Khurasan
menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu dengan khabar. Namun para
ahli hadis menamai keduanya dengan atsar. Karena atsar pada dasarnya berarti
riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.
b. Hadis Mauquf yang
berstatus Marfu'
Diantara hadis mauquf
terdapat hadis yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati
hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadis yang
demikian dinamai oleh para ulama hadisdengan al-Mauquf lafdzhan al-Marfu'
ma'nan,yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secar mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf
Apabila suatu hadis
mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan
berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan hadis marfu
itu.
Akan tetapi jika tidak
berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujahannya.
4. HADIS MAQTHU'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
secara terminology
hadis maqthu' adalah :
وهو الموقوف التابعي قولا
له أوفعلا.
Yaitu sesuatau yang
terhenti (sampai)pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.
ماأضيف الى التابعي أو من
دونه من قول أوفعل .
Sesuatu yang
disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan
atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama
dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan
Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu
terjadinya keterputusan sanad.
b. Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة
خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri
mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung
dosa atas perbuatan bid'ahnya"
c. Status Hukum Hadis
Maqthu'
Hadis Maqthu' tidak
dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena
status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.
KESIMPULAN
hadis adalah sesuatu
yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan
beliau. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam maka akan ada beberapa
klasifikasi yang ditinjau kepada siapakah hadis tersebut disandarkan. Yaitu:
hadis qudsi,hadis
marfu’,hadis mauquf,hadis maqthu’.
DAFTAR PUSTAKA
Al-khatib, M. Ajaj,
“Usul al-hadis:’ulumuhu wa mustlahuhu”:Dar al-fikr, 1409 H/1989 M
At-tohal Mahmud,
“Taisir mustalah al-hadis” Beirut: Dar Al-qur’an Al-karim, 1399 H/ 1979 M
A. DARI SEGI JUMLAH
PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari
segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka
dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits
Mutawatir
Kata mutawatir Menurut
lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara
satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut
istilah ialah:
"Suatu hasil hadis
tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:
"Hadits mutawatir
ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat
dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita
yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat
dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya.
Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka
jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu
harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam
sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan
hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui
perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya.
Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang
meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang
meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian
banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu
adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits
Mutawatir
Suatu hadits dapat
dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang
diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap)
pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan
hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak
didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut
hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi
mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib
menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i
menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi
yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat
65).
d. Ulama yang lain
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan firman Allah:
"Wahai nabi
cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)."
(QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para
perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat
berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak
banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti
Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam
As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits
Mutawatir
Hadits mutawatir
memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat
sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i
(pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar
menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
mutawatir.
Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang
keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah
rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat
dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan
semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits
mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu
daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri
yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits
Mutawatir
Para ulama membagi
hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir
Lafzi
Muhadditsin memberi
pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
"Suatu (hadits)
yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum
dan maknanya."
Pengertian lain hadits
mutawatir lafzi adalah :
"Suatu yang
diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari
sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir
Lafzi :
"Rasulullah SAW
bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah
ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi
hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar
Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian
Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu
diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir
maknawi
Hadits mutawatir
maknawi adalah :
Artinya :
"Hadis yang
berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya
atau satu makna yang umum."
Artinya:
"Hadis yang
disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada
lafaz."
Jadi hadis mutawatir
maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun
redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam
maknanya.
Contoh :
Artinya :
"Rasulullah SAW
tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat
istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua
ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna
dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah
dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh
Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
"Rasulullah SAW
mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3. Hadis Mutawatir
Amali
Hadis Mutawatir Amali
adalah :
Artinya :
"Sesuatu yang
mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di
antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh :
Kita melihat dimana
saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat
dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan
kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau
memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian
hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis
mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali
ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi
mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis
ahad
Menurut Istilah ahli
hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
"Suatu hadis
(khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis
mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima
orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa
hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan
tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang
padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat
bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya
memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga
dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis
tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis
tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang
harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa
"Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita
berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat
pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah
nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada
muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka
hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau
kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak
mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu
kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita
pandang nasikh.
Jika kita tidak
mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang
rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat
kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya,
baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS
SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi
rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi,
keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan
tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan
keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih
tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan
hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis
memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada
hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang
diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
"Dan Musa memilih
tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu
yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi
jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat
orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari
sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan
hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya
amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut
adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang
demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran
mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat
dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami
melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan
masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan
tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional
murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan
bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki
rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau
tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar
atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi
tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah
tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan
tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan
suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum
atau sumber Islam.
Para ulama membagi
hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis
daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi,
dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis
sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut
bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
"Hadis sahih
adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat
(al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas
mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan
berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
"yang kami sebut
hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami,
yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui
sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis
hasan."
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut
bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah
(keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi
batasan bagi hadis daif :
Artinya :
"Hadis daif adalah
hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu
bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal
dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN
DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak
mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang
memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi
dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul
dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa
berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf
Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya:
"Hadis yang
menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam
kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik
yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang
lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis
tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian
para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis
yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis
yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul
yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan
yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping
itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini
hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan
hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari
segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis
maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi
adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu
hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif,
yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan
dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo
makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi
ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul
yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf,
yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan
dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa
berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin,
hadis mardud ialah :
Artinya:
"Hadis yang tidak
menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang
kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."
Ada juga yang
menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
"Hadis yang tidak
terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
Sebagaimana telah
diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis
maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud
adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI
PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil
disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
"Hadis muttasil
adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya
sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis
yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui
cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah,
Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar"
karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak
ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para
ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima
melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan
dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil
Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin
Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: "Orang
yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada
keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil
maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar
Abdullah bin Umar berkata:
Artinya:
"Barang siapa yang
mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan
membayarnya."
Masing-masing hadis di
atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya
dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu
yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak
diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur
mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau
muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang
membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya
dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan
sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai
hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua
hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis
yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis
maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan
menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita'
(terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni
terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang
dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para
ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam.
Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari
masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang
paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr,
yakni:
Artinya:
"Hadis Munqati
adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan
kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak
bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa
orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun
Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak
bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati'
(terputus) persambungannya."
Demikianlah para ulama
Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi
tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu
judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis
Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya:
"Hadis Munqati
adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat
atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat
tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan
hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain.
Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup
hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak
mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal
sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.