Pendahuluan
Dalam perspektif sosiologis idealnya gambaran warga
PMII adalah warga (mahasiswa) yang secara tradisi, kultur dan ritualnya kental
dengan nilai-nilai yan dikembangkan oleh NU. Kemudian identitas diri mahasiswa
yang merupakan warga yang terbangun oleh citra diri sebagai insane religius,
insane dinamis, insane social dan insane mandiri. Dari identitas ini terpantul
tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab intelektual, tanggung jawab social
kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun
sebagai warga bangsa dan Negara.
Pengertian Islam yang terkandung dalam PMII adalah
Islam yang sebagai agama yang dipahamai
sebagai ahlussunnah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama
Islam secara proposional antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir,
pola sikap dan pola prilakunya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan
integrative. Dalam rangka memahami dan
menghayati serta mengamalkan nilai-nilai Islam, PMII telah menjadikan
Ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhajul fikr dalam manhaj al-taghayyur al-ijtima’
(perubahan sosial) untuk merekostruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi
ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti kekerasan, dan kritis
tranformatif. Sehingga ahlussunnah wal jama’ah merupakan suatu ideology
sekaligus menjadi pijakan atau alandasan bagi pola pikir / manhaj al-fikr dalam
diri setiap kader, sehingga paling tidak
mampu mendialektika antara konsep dan realita sehingga setiap kader menjadi
insan pergerakan yang proaktif terlibat dalam menggagas dan memperjuangkan
proses perubahan social yang diinginkan secara terorganisir.
Sehingga secara totalitas PMII merupakan suatu gerakan
yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa yang mempunyai integritas diri
sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT, dan atas dasar ketaqwaan
berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun masyarakat bangsa dan Negara
Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan
dan ridho Allah SWT.
I.
Lahirnya Aswaja
Bermula dari
persoalan politik atas nama legalitas agama yang akhirnya berubah menjadi
persoalan aqidah, tepatnya pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib KW. Dimana
pada masa itu keadaan tidak stabil, muncul berbagai kekacauan yang tidak bisa
dihindarkan, salah satunya adalah munculnya peristiwa “tahkim” (arbitrase),
atau dikenal dengan fitnatul kubro, yakni suatu pertempuran antara Ali bin Abi
Thalib KW. dengan pihak Muawiyah bin Abi
Sufyan gubernur Syam, yang selanjutnya terkenal dengan perang siffin,pada tahun
37 H. A khirnya memunculkan golongan-golongan seperti syi’ah, khawarij,
jabariyah, qadariyah, mu’tazilah, murji’ah, dll. Munculnya golongan-golongan
ini juga tidak lepas dari emosional, tidak terkendali, temporal,
sesaat,lokalitas dalam upaya mempertahankan kelompok mereka masing-masing.
Namun demikian, dari berbagai golongan tersebut, terdapat kelompok orang-orang
yang tidak mau terserek dalam hal politik, akan tetapi memiliki kecenderungan
dalam memahami sunnah Nabi Muhammad SAW besera sahabat beliau. Mereka itulah
embrio dari munculnya pemahaman aswaja, yang hamper mendekati ma’na alternative,
kelompok ini disebut dengan kelompok netral. Selanutnya golongan ini diteruskan
oleh generasi Ahmad bin Hambal. Beliau hidup pada masa Bani Abbasyiah, dimana
paham yang diakui oleh pemerintah adalah paham Mu’tazilah, samapai pada masa
al-Ma’mun (198 H-218H). selanjutnya ketika kepemimpinan dikendalikan oleh
al-Mutawakkil (233-247) kondisi paham Mu’tazilah mulai tidak diminati umat
Islam. Kemudian sang khalifah mencari strategi dukungan mayoritas, yakni
pengikut imam Ahmad bin Hambal. Pada saat umat Islam khususnya orang-orang awam
kesulitan memahami konsep Mu’tazilah, mereka merindukan ajaran baru yang
memiliki konsep yang sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad SAW serta tradisi para
sahabatnya, kemudian ajaran-ajaran tersebut secara legal formal subtansial dinamakan
ahlus Sunnah wal Jama’ah (aswaja),
yang secara resmi didirikan oleh tokoh yang bernama Abu Hasan al-Asyari
(260-324 H/ 873 -935 M). sebelumnya beliau adalah pengikut aliran Mu’tazilah.
Bersamaan dengan bergulirnya waktu dan sealiran dengan pemikirannya, muncullah
aliran maturidiyah; Abu Mansur Muhammad Al-maturidi (333 H/944 M) di Samarkhan,
yang merupakan pendukung As’yari sehingga termasuk dalam golongan Aswaja.
II. Pengertian
Aswaja
Menurut
eksiklopedi Islam (a) merupakan salah satu aliran yang teologi Islam yang
timbul karena reaksi terhadap golongan Mu’tazilah; (b) merupakan nama aliran
dari paham Asy’ariyah dan Maturidi yang berpegang teguh pada ttadisi Nabi SAW
dan para sahabatnya dan merupakan aliran mayoritas umat Islam
Menurut
pandangan ulama’ NU,aswaja adalah umat Islam yang selalu berpegang teguh kepada
kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad SAW, serat kepada para
sahabatnya yang melaksanakan petunjuk berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah tersebut
Menurut salah
satu ulama’ NU yakni KH. Ahmad Siddiq merupakan suatu pembaharuan atau
penelusuran terhadap penyelewengan, penyimpangan, kekacauan-kekacauan pikiran
dan pendapat dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut salah
satu pemikir Islam, yakni Harun Nasution adalah penganut tradisi Nabi Muhammad
SAW sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas Umat Islam.
Kemudian
Ideologi Aswaja ditengah-tengah masyarakat kita dipahamai, sebagai berikut :
1. Memahami, menghayati dan mengamalkan dasar-dasar
keagamaan yang dipahami berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang berdasar
Al-Qur’an , Hadits, Ijma’ Qiyas,
2. Memahami dan menafsirkan ajaran agama Islam dari
sumber-sumbernya dalam ASWAJA menggunakan berbagai pendekatan, yaitu:
- Di bidang Aqidah mengikuti paham Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi
- Di bidang fiqh mengikuti salah satu dari paham 4
madzhab; Muhammad bin Idris As-Syafi’I, Abu Hanifah An-Nu’man, Malik bin
Anas, Ahmad bin Hambal
- Di bidang Tasawuf mengikuti Junaidi al-Baghdady
dan Abu Hamid Al-Ghazaly
III.
Urgensi Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam konteks
kekinian
Pemahaman
terhadap pemaknaan di atas ini paling tidak memberikan pengertian bahwa Aswaja
adalah umat Islam yang selalu berpegang teguh kepada kitab Allah (Al-Qur’an)
dan sunnah Nabi Muhammad SAW, serat kepada para sahabatnya yang melaksanakan
petunjuk berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Sehingga bila ada pemahaman
lain yang tidak sesuai dengan pemahaman ini, maka akan diklaim sebagai golongan
yang bukan golongan ASWAJA.
Klaim kebenaran seperti ini bagi setiap
kelompok adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka
agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik
yang cukup menarik bagi setiap pengikutnya. Selain itu, agama
mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang
tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan
berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal,
memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran
agamanya, memiliki semangat dedikasi dan bahkan berjuang serta berkorban
untuk agamanya kalau memang diperlukan. Namun demikian, jika
klaim kebenaran difahami secara mentah-mentah dan
emosional, maka akan menimbulkan banyak masalah, karena
walaupun agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia akan pegangan
hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil, tetapi kehidupan
manusia itu sendiri penuh diwarnai dengan perubahan-perubahan,
ketidak stabilan dan ketidak menentuan. Sejarah menunjukkan bahwa adanya
perselisihan, pertikaian, konflik dan peperangan antar komunitas
agama baik di kawasan Asia , Afrika, Eropa
maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran yang
melebar memasuki wilayah sosial politik yang bersifat praktis-empiris.
Apalagi kalau dicermati lebih jauh
ternyata trend yang sedang berkembang dan juga dihadapi oleh
agama-agama pada saat ini adalah munculnya internal
diversity (keragaman internal) yang merupakan proses yang tak
terhindarkan. Di kalangan umat Islam sendiri terdapat beberapa
aliran yang memiliki karakteristik sendiri-sendiri, bahkan di
dalam tubuh NU sendiri para anggotanya dapat menyalurkan aspirasi
politiknya ke dalam beberapa Partai, demikian pula di dalam tubuh Muhammadiyah,
dan lain-lain. Kalau masyarakat belum siap dan kurang memiliki kesadaran
akan pluralisme, maka klaim kebenaran itu bukan hanya terbatas pada
hubungan antar agama saja, tetapi juga terjadi di dalam wilayah intern
pengikut-pengikut agama itu sendiri. Apalagi
kalau klaim kebenaran itu dibungkus dalam simpul-simpul interest,
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok, baik yang bersifat
politis maupun sosiologis.
Perlu juga disadari bahwa pemahaman ke-Islaman yang
cenderung bersifat normatif tanpa illustrasi konteks sosial budaya, berdampak
pada pemahaman maupun dalam pelaksanaannya kurang menghayati nilai-nilai agama
sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Misalnya; (1) Bidang teologi, ada
kecenderungan mengarah pada faham fatalistic, (2) Bidang akhlak berorientasi
pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia
beragama, (3) Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang
ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sosial, (4) Dalam bidang
hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah
sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam, (5) Agama
Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalits
serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan, (6) Orientasi mempelajari
Al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada
pemahaman arti dan penggalian makna.
Penggunaan Aswaja sebagai manhaj al-fikr harus tetap
dilandasi dengan semangat al-Muhafadhah
‘alaa Qadim as-Sholeh wal akhdu bil jadid al-ashlah, yakni memelihara
nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.
Manhaj al-fikr ini akan menghasil tipelogi pemikiran rekonstruksi social yang
teosentris, yang akan melahirkan konsep-konsep baru, diantaranya;
a.
Mampu memberikan
alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis
tersebut.
b.
Mengarah kepada
usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran
kembali ajaran-ajaran agama Islam yang merupakan warisan doktriner turun
temurun dan dianggapnya sudah mapan dan sudah mandeg dan sudah ketinggalan
tersebut.
c.
Agar mampu
beradaptasi dan menjawab tantangan serta tuntutan zaman dan dunia modern,
dengan tetap berpengangan pada sumber ajaran agama Islam yang asli, yaitu
Al-qur’an dan assunah.
d.
Mampu memberikan
pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam, agar tetap menjadi seorang muslim
sejati. Yang hidup dalam dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman
modern maupun era globalisasi sekarang ini.
e.
Mampu melakukan berbagai aktifitas ditengah
masyarakat berdasarkan nilai-nilai kemasyrakatan yang bersumber pada
nilai-nilai ASWAJA, diantaranya watak moderat (tawasut), bersikap adil
(I’tidal), bersikap seimbang (Tawazun), bersikap toleran (Tasamuh)
f.
Mampu
merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar ditengah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, artinya memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan
yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mencegah dan menolak
semua hal yang dapat merendahkan dan menjerumuskan nilai-nilai kehidupan
g.
menawarkan
semangat inklusifisme yang bersedia membuka dialog, toleransi, rekonsiliasi dan
mengakui semua kelompok yang bersengketa sebagai umat yang satu. Akhirnya bisa
diterima oleh berbagai golongan di masyarakat dan berkembang dengan pesat.
Kesimpulan
Islam sebagai agama yang dipahami sebagai ahlussunnah
wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional
antara Iman, Islam dan Ihsan yang di dalam pola fikir, pola sikap dan pola perilakunya
tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integrative. Memahami konsep
ASWAJA baik ideology sekaligus sebagai
manhaj al-fikr akan melahirkan subtansi nilai-nilai makna, seperti diantaranya
watak moderat (tawasut), bersikap adil (I’tidal), bersikap seimbang (Tawazun),
bersikap toleran (Tasamuh), yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan bentuk
problematika yang berkembang ditengah realitas pluralitas masyarakat berbasis
pesantren khususnya, berikut berbangsa dan bernegara pada umumnya
disamping tuntutan situasi dan kondisi.
*Pengurus Cabang PMII Kota
Malang