Aswaja
SEBAGAI MANHAJUL FIKR
18 Mei 2014
Salamin-Dikalangan
anak muda NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan
PMII, diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada
mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan, mengapa aswaja menghambat
perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi terhadap doktrin ini lalu sampai
kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir ini karena kita mengadopsi mentah-mentah
bahwa aswaja secara “Qod’I” (kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah
membongkar sisi metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir
yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul
(keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim
kiri dan kanan.
LATAR
KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama
ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam
masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi.
Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam
bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau
kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak
begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi
yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus
kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah
madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang
digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik
ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al
fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun
sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah
tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang
untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa
yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara
peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang
pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka
merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang
demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah
diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan
persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan
segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu
meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah).
Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan
kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab
yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum
dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar,
terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah (
peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan
internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus
berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan
menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan
masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk
mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur
perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu
bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya
Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur
yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau
menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini
ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya
Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti
Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi
politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai
terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan
kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang
mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya
Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA
SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat
dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup
yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama
ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif
atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yangQod’i. Bagaimana
mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana
mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam
satu dengan imam yang lain.
Salah
satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi,
oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga
tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus
dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan
tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah.
Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim
al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai
dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni
pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua
sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya,
ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil,
Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau
paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini
berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif,
kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan
budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman.
Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara
kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama
ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan
praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya,
yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat),tawazun
(keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan
mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun
kanan.
NILAI-NILAI
ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam
sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil
mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir
rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada
sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti
tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter
lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut
barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam
di Indonesia.