Salamin-Dikalangan anak muda NU,
terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan PMII,
diawal tahun 1990-an mulai ramai membicarakan “Aswaja”.
Pada mulanya perbincangan baru seputar pertanyaan,
mengapa aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat ? diskusi
terhadap doktrin ini lalu sampai kesimpulan, bahwa kemandegan berfikir
ini karena kita mengadopsi mentah-mentah bahwa aswaja secara “Qod’I”
(kemasan praktis pemikiran aswaja). Lalu dicobalah membongkar sisi
metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr): Yakni cara berfikir yang menganggap prinsip Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya,
batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena
pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk
mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa
Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja
hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan
oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi
politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya
sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari
realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa
arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti
kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari
beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari
watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir
watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara
mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi
bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan
kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat
menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar
idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma,
dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan
qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya
Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan
kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa
arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad
beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan
sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat
mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini,
secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya
Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam.
Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan
aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai
ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam
merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu,
bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai
kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh
Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan
kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini
ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan
dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin
Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang
Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin
kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga
dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh
seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus
sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya
Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa
terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa
beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah
jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi
ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan
bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan
tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah.
Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada
masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi
implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan
bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi,
politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab.
Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih
memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi
kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif,
sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia.
Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman.
Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran
diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja
seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna
mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau
membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang
menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul
( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai
keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asya’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel. Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.