METODOLOGI
STUDI ISLAM
A. Perbedaan dan penelitian agama dan
Penelitian Keagamaan
M.
Atho Mudhar (1988 : 35) menginformasikan bahwa sampai sekarang, istilah
penelitian agama dan penelitian keagamaan belum ddiberi batas yang tegas.
Penggunaan istilah yang pertama yaitu penelitian agama sering juga dimaksudkan
mencakup penelitian yang kedua yaitu penelitian keagamaan dan begitu
sebaliknya, salah satu contoh yang diungkap oleh M. Atho Muzar adalah
pernyataan A. Mukti Ali yang ketika membuka program pelatihan agama (PLPA)
menggunakan kedua istilah tersebut dengan arti yang sama.[1]
Atho
Mudzar mengukip pendapat Middleton, guru besar antropologi di New York
University. Middleton berpendapat bahwa penelitian agama berbeda dengan
penelitian keagamaan, yaitu:
- Penelitian agama lebih mengutamakan
pada materi agama, sehingga sasarannya terletak pada elemen pokok, yaitu ritus,
mitos, dan magik
- Sedangkan penelitian keagamaan lebih
mengutamakan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan ( M. Atho M
Udzhar, 1998 : 35)
M.
Atho Mudzar mengutamakan bahwa untuk penelitian agama yang sasarannya adalah
agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian
tersendiri sudah terbuka sudah ada yang pernah merintisnya. Sedangkan untuk
penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak
perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi
penelitian sosial yang teah ada.
Sedangkan
menurut pandangan Juhaya S. Pratja (1997:31-2), penelitian agama adalah
penelitian tentang asal – usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut
ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalammnya. Sedangkan
penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik
ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.[2]
B. Persamaan Penelitian Agama dan Keagamaan
Middleton,
Guru besar antropologi di New York University, berpendapat bahwa penelitian
agama (reseach onreligion) berbeda dengan penelitian keagamaan (religius
reseach). Penelitian agama lebih mengutamakan pada materi agama, sehingga
sasarannya terletak pada tiga elemen pokok, yaitu ritus, mitos, dan magik.
Sedangkan penelitian keagamaan lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem
atau sistem keagamaan. Penelitian agama Islam adalah penelitian yang obyeknya
adalah substansi agama Islam: kalam, fikih, akhlak, dan tasawuf. Sedangkan
penelitian keagamaan Islam adalah penelitian yang obyeknya adalah agama sebagai
produk interaksi sosial. Sedangkan Atho Muzdhar berpendapat bahwa penelitian
agama adalah penelitian yang sasarannya adalah agama sebagai doktirn dan
penelitian keagamaan adalah penelitian yang sasarannya agama sebagai gejala
sosial.
Dalam
pandangan Juhaya S. Praja penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul
agama, pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran
yang terkandung di dalamnya. Lahan penelitian agama ini adalah 1) sumber ajaran
agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis 2) pemikiran
dan pemahaman terhadap ajaran agama yang terkandung dalam sumber ajaran agama
yang telah melahirkan filosafat Islam, ilmu kalam, tasawuf dan fikih.
Adapun
penelitian tentang hidup keagamaa (penelitian keagamaan) adalah penelitian
tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara
individual dan kolektif. Penelitian keagamaan ini meliputi: 1) Perilaku
individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang
dianutnya; 2) Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik,
budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu
agama; 3) Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan
budaya masyarakat beragama.
Berkenaan
dengan metode penelitian yang diperlukan, maka untuk penelitian yang berkenaan
dengan pemikiran atau gagasan dapat digunakan metode filsafat, dan untuk
penelitian agama berkenaan dengan sikap perilaku agama, dapat digunakan metode
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Sedangkan
penelitian yang berkaitan dengan benda-benda keagamaan maka yang tepat
digunakan adalah metode arkeologi. (Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok,
C. Eksistensi Al-Qur’an Di Zaman
Sekarang/Dalam Kehidupan Sekarang
Al-Qur’an
yang ada pada kita sekarang ini benar-benar serupa dengan apa yang ada pada
Rasulullah. Pernyataan ini tampak sekilas seperti doktrin yang hanya diakui
oleh orang muslim. [3] Pada kenyataannya, para orientalis dan islamolog yang
objektif, juga mengakui hal itu. Meskipun tidak sedikit diantara mereka yang
berusaha untuk mencari kelemahan-kelemahan Al-Qur’an, namun ada juga yang malah
menemukan keistimewaan Al-Qur’an, yaitu para peminat al-Qu’an, mereka menemukan
bahwa keistimewaan al-qur’an itu akan melahirkan ilmu-ilmu keislaman sebagai
mana yang telah ada, namun akan melahirkan dan mendorong pendalaman berbagai
disiplin ilmu lain. Sebagaimana Allah menjelaskan didalam al-qur’an yaitu
óOÎgƒÎŽã\y™
$uZÏF»tƒ#uä ’Îû É-$sùFy$# þ’Îûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lymtû¨üt7oKtƒ öNßgs9
çm¯Rr& ‘,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/¼çm¯Rr&
4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« Íky¬ ÇÎÌÈ
53.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi
atas segala sesuatu?
Berdasarkan
itu, para ulama terdorong untuk merumuskan metode-metode dalam memahami
ayat-ayat alqur’an. Diantaranya metode tafsir bi al-ma’sur, yaitu menafsirkan
ayat dengan ayat lain atau dengan hadis serta pendapat para sahabat. Penafisram
metode ini sebagian pakar memandangnya sebagai penafisiran yang tertinggi.
Al-Zahabi berikut ini mengisyaratkan hal itu:
1. Setiap mufassir harus melihat kepada
al-qur’an terlebih dahulu
2. Menghimpun apa yang terbesar dan terulang
dalam suatu topik
3. Menghadapkan ayat dengan ayat
4. Memahami ayat yang mutlak (tidak
bersyarat) dan ayat mugayyat ( bersyarat)
5. Yang umum dan yang khusus
6. Tahap ini tidak dapat dikesampingkan
7. Tidak dapat diabaikan untuk melangkah
ketahapan penafsiran berikutnya
D. Eksistensi Al-Sunnah Dalam Kehidupan
Sekarang
Umat
islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah
al-Qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam
al-qur’an maupun sunnah atau hadis. Jadi keberadaan al-sunnah di kehidupan
sekarang sebenarnya tidak jauh dari gerakan ulama pada periode ke lima. Hasil
dari gerakan mereka adalah lahirnya beberapa kitab hadis atau sunnah yang
berbeda seperti kitab syarah, kitab mustakhrij, kitab athraf, kitab mustadrak,
dan kitab jami.[4]
E. Relevansi Al-Qur’an Dan Al Sunnah Dalam
Kehidupan Sekarang
Apabila
kita membahas tentang relevansi antara al-qur’an dan al-sunnah, maka yang harus
dilihat adalah fungsinya secara khusus dan rinci. Muhammad Mahmud menjelaskan
fungsi sunnah terhadap al-qur’an dikelompokkan kepada dua macam, yaitu :
- Fungsi yang berkaitan dengan
al-Qur’an
- Fungsi yang berkaitan dengan pembinaan
hukum islam
Fungsi
yang berkaitan dengan al-qur’an ialah:
1. Bayan Ta’kid, yaitu fungsi sekedar
mengukuhkan apa yang terdapat dalam al-qur’an
2. Bayan al-tafsir, yaitu menjelaskan maksud
kandungan al-qur’an, membatasi globalnya, mengkhususkan keumumannya.
Dan
fungsi yang berkaitan dengan hukum islam, terdapat perbedaan pendapat uama,
yaitu kelompok pertama membolehkan sunnah menetapkan hukum walaupun tanpa
dijelaskan dalam al-qur’an (sunnah sebagai sumber hukum), mereka mendasarkan
pendapatnya pada ismah (terpeliharanya Nabi dari dosa), kecuali itu Firman
Allah:
Artinya:
Dan
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kmau kepada Rasul-Nya dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan Risalah dengan jelas. [5]
Sedangkan
kelompok kedua menolak fungsi al-sunnah sebagai sumber hukum dengan alasan:
- Bahwa sumber hukum itu hanya Allah,
sedangkan Nabi hanya sebagai penjelas dan penafsir
- Jika sunnah sebagai sumber hukum,
maka Nabi pasti menyuruh sahabatnya untuk menuliskannya
Dan
juga al-sunnah atau hadis dipergunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum
di dalam alQur’an. Sedangkan ijtihad digunakan jika tidak ditemukan ketetapan
hukum baik dalam al-Qur’an maupun hadis.
Sedangkan kebutuhan al-qur’an terhadap
al-sunnah yang dikemukakan oleh al-Auza’I yang dikutip oleh al-Syatibi, bahwa
kebutuhan al-Qur’an terhadap hadis jauh lebih besar daripada kebutuhan al-hadis
kepada al-qur’an. Dengan kata lain, fungsi hadis sangat diperlukan dalam
memahami makna al-qur’an. Orang tidak dapat memahami hanya dengan mengandalkan
paparan teks al-qur’an itu sendiri.
F. Metode Pendekatan Al-Qur’an
Selama
empat belas abad terakhir ini, khazanah intelektual Muslim di bidang penafsiran
al-Qur’an telah diperkaya dengan berbagai macam perspektif dan approach dalam
menafisrkan al-Qur’an. Namun demikian, terdapat kecenderungan yang umum untuk
memahami al-qur’an selama ini dengan cara ayat per ayat, bahkan kata perkata. Selain
itu, pemahaman terhadap al-qur’an terutama didasarkan pada pendekatan
fisiologis gramatikal.
Pendekatan ayat per ayat bahkan
kata per kata tentunya akan menghasilkan pemahaman yang parsial dan
sepotong-sepotong tentang pesan al-qur’an. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti
dalam penafsiran dibidang kalam atau teologis, filosofis dan sufistik, tidak
jarang gagasan-gagasan ahli terlihat seperti dipaksakan menafsirkan ayat sesuai
dengan teori dan pendapat yang mereka yakini, tanpa mempertimbangkan konteks
sosial budaya dan aspek kesusastraan al-qur’an itu sendiri.
Dalam mengomentari tentang
literatur Barat pada zaman modern ini mengenai al-qur’an, menurut Fazlurrahman
pada garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
1. Karya-karya yang berusaha mencari
pengaruh Yahudi dan kristen didalam al-Qur’an
2. Karya-karya yang mencoba untuk membuat
rangkaian kronologis ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan fakta sejarah
3. Karya-karya yang bertujuan untuk
menjelaskan secara keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja di dalam al-Qur’an.[6]
Ringkasnya
bahwa pendekatan baru bersifat historis dengan anormativitas, sementara
pendekatan muslim kebalikannya yaitu bersifat normativitas dengan ahitoris.
Seharusnya kedua pendekatan itu harus saling bersanding bukan saling
bertanding. Inilah tugas sarjana muslim untuk menemukan korelasinya sehingga
terbina suatu hubungan yang harmonis antara kedua pendekatan tersebut. Jika
dilihat sepanjang sejarah penafsiran al-qur’an, maka kelihatannya pendekatan
yang paling sering dipakai sedikitnya,- dan ini masih bisa ditambah,- adalah
tiga pendekatan utama yaitu:
1. Pendekatan Bahasa
Disepakati
oleh semua pihak bahwa untuk memahami al-qur’an diperlukan pengetahuan bahasa
arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, maka
seorang penafsir harus terlebih dahulu meneliti apa saja pengertian yang
dikandung oleh kata tersebut. Kemudian mendapatkan arti yang paling tepat
setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tersebut.
2. Pendekatan Konteks antara ayat dengan
ayat
Untuk
memahami suatu kata dalam rangkaian suatu ayat tidak dapat dilepaskan dari
konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata dalam redaksi ayat tersebut.
3. Pendekatan yang Bersifat Penemu Ilmiah
Telah
ditemukan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya faktor perkembangan ilmu pengetahuan dab teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah demikian pesatnya,sehingga perkembangan
demikian dapat memperngaruhi pemahaman terhadap redaksi ayat al-qur’an.
G. Metode Pendekatan Al-Sunnah
Untuk
menguraikan masalah pendekatan dalam memahami sunnah inipenulis cenderungn
mengemukakan teori-teori yang berkembang dalam memahami dan menyikapi
al-sunnah. Menurut penulis ada dua peta pemahaman yaitu paham idealistik dan
paham realistik. Kedua paham ini akan dikemukakan selengkapnya sebagai berikut:
1. Pemahaman Idealistik
Pemahaman
ini berpandangan bahwa umat islam harus mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW
secara menyeluruh. Mengikuti sunnah tidak boleh secara parsial
(sepotong-sepotong). Rasul harus diteladani sepenuhnya, bukan hanya
masalah-masalah peribadatan atau keagamaan saja, akan tetapi juga
kegiatan-kegiatan harian yang kecil-kecil, seperti cara duduk, berjalan,
bekerja berpakaian, dan sebagainya.[7]
2. Pemahaman Realistik
Secara
rinci teori ini terbagi ke dalam banyak corak pemikiran, namun inti gagasannya
adalah bahwa tidak semua informasi sunnah benar-benar harus diikuti oleh orang
mukmin sebagai bagian dari kewajiban keagamaannya. Dalam paham ini sunnah
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:[8]
a. Informasi sunnah yang dilihat dari sudut
pandang kemanusiaan. Jenis ini mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan
fisik-biologis seperti bagaimana rasul makan, minum, berdiri, berjalan, tidur
dan sebagainya.
b. Informasi sunnah yang pesan-pesannya dari
ajaran dan sari’at islam.
Perbedaan
pendekatan tersebut pada gilirannya juga membawa dampak perbedaan pengertian
tentang perbuatan-perbuatan ang dianggap sunni (yang mengikuti sunnah) dan yang
bid’iy (yang baru, tidak berdasarkan sunnah). Dengan model pendekatan yang
pertama, suatu jenis tradisi dikatakan “sunni” apabila ditemukan tradisi yang
sama dimasa rasul yang dibuktikan dengan adanya teks hadis yang sahih, selain
itu dianggap bid’ah.
H. Islam
Periode Klasik
Perkembangan
islam klasik ditandai dengan perluasan wilayah. Ketika tinggal di mekkah, Nabi
Muhammad SAW dan para pengikutnya mendapat tekanan dari kalangan Qurays yang
tidak setuju terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena tekanan
itu Nabi Muhammad SAW terpaksa mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia yang
beragama kristen koptis untuk mendapatkan suaka. Itulah periode Mekkah yang
membuat Nabi SAW bertahan di Mekkah atas dukungan keluarga. Setelah itu,
istrinya Khadidjah meninngal dunia. Tidak lama kemudian, kepala sukuknya
meninngal, lalu digantikan oleh orang yang tidak simpatik kepadanya.
Pada tahun 620 M, Nabi Muhammad SAW
membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka yang
membuat ia dan pengikutnya diterima dikalangan mereka. Di Madinah, ummat islam
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Umat islam yang berasal dari Mekkah dan
ikut berpindah ke Yatsrib, yang disebut dengan Muhajirin
2. Umat islam yang berasal dari Madinah, yang
menerima kedatangan umat islam dari mekkah, dan ini disebut Anshar. Disamping
dua kategorisasi di atas, masih terdapat masyarakat yang tetap memeluk agama
nya semula yang tidak berpindah untuk menganut agama islam.
Setelah
kedudukan islam di Madinah menjadi kuat, umat islam menentukan langkah
berikutnya, yaitu menaklukkan Mekkah setelah sebelumnya malakukan perundingan
yang hampir tanpa kekerasan (630M). kesuksesan Nabi Menjadi lengkap. Tempat –
tempat suci seperti ka’bah, sumur zam-zam dan makam Nabi Ibrahim a.s dikuasai
oleh umat islam. Pada tahun 633 M pasukan umat islam dikirim ke Suriah di Utara
dan Persia di Timur. Enam tahun kemudian, umat islam maju ke Barat, dan sungai
Nil di duduki. Setelah itu, beberapa kota satu persatu berhasil dikuasai , seperti
Damaskus (635 M), Bait Al-Maqdis, Mesopotamia dan Babilonia, dan
Hulwan.[9]Nihawan(642 M), isfahan (643M). dengan terlaksananya penaklukan
–penaklukan itu, islam yang pada zaman Nabi Muhammad saw bersifat Arab menjadi
bersifat internasional.
Akhir kekuasaan al-khulafa al-rasyidin
ditandai dengan terpecahnya umat islam menjadi dua kubu besar yaitu pendukung
Ali bin Abi Thalib dan pendukung mu’awiyah bin Abi Sofyan yangketika itu
berkedudukan sebagai Gubernur suriah. Meskipun berakhir dengan perpecahan,
kekuasaan al-khulafa al-rasyidin telah berhasil mengubah sifat islam yang
bercorak lokal Arab menjadi bercorak internasional.
Kekuasaan Bani Umayah dimulai
setelah khalifah ke -4 yaitu Ali bin Abi Thalib meninggal dunia. Kekuasaan bani
umayah ditandai dengan perluasan wilayah yang luar biasa. Pada akhir abad ke-7
M, umat islam melakukan penjajahan yang dipimpin oleh Thariq bin Jiyad di
gunung karang besar yang menguasai laut tengah dan samudra atlantik (711M).
mereka akhirnya sampai di Eropa. Dua tahun kemudian, umat islam bisa tiba di
australia. Dari spanyol, serangan diteruskan kedaerah Perancis melalui
pegunungan Pirenia. Pada tahun 732 M, umat islam dipukul mundur oleh Tours dan
poitier (Anas Ma’ruf (ed), 1994:11). Akhirnya kekuasaan Bani Umayyah berakhir
atas pemberontakan yang dimotori oleh Abu Al-Abbas dari Bani yang beerja sama
dengan Abu Muslim al-khurasani dari syiah.
I. Islam Periode Modern (sejak 1800 M)
Periode
modern disebut juga oleh Harun Nasution (1, 1985: 88) sebagai zaman kebangkitan
islam. Ekspedisi nappoleon bonaparte yang berakhir pada tahun 1801 membuka mata
umat islam terutama Turki dan Mesir akan kemunduran dan kelamahan umat islam di
samping kekuatan dan kemajuan Barat.
Ekspedisi
Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam
berbagai cabang ilmu. Diapun membawa dua set alat percetakan huruf latin, arab,
dan yunani. Ide-ide baru yang diperkenalkan Napoleon di mesir adalah:
a. Sistem negara republik yang kepala
negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu
b. Persamaan
c. Kebangsaan (Harun Nasution, 1992:31-2)
Raja
dan para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan keluar untuk
mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat islam. Maka
timbullah gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukan diberbagai negara,
terutama Turki Utsmani dan Mesir. Di Mesir pembaruan di gagas dan dilakukan
oleh para pembaru. Diantaranya Ri’faah Badawi Rafi’ al Thahthawi (1801 – 1873
M), yang menjadi redaktur surat kabar al-waqa’i al-mishriyyah jamaluddin
al-afghany(1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905). Demikian sejarah Islam
singkat yang pada kontak islam dan Barat pertama menampilkan keunggulan
peradaban islam atas Barat.
K.
Perkembangan islam di Afrika
Pada
kesempatan ini kita akan membicarakan islam di Afrika Utara, khususnya di
Sudan. Dalam sejarahnya Sudan Timur memisahkan diri dari Sudan Tengah. Karena
Sudan Timur berutang kepada fakta bahwa islam menyebar sampai ke Sudan Timur
dari Mesir. Arab menguasai Mesir pada tahun 641. Sementara itu di Funj terdapat
kerajaan kristen. Pada tahun 1504 M, rajanya Amara Dunqas, yang mendirikan kota
sinar sebagai ibu kota kerajaan Funj dikalahkan oleh Arab muslim. Dari kota
itu, dilakukan hubungan perdagangan dengan Mesir. (Ira M. Lapidus, 1993:526)
Pada
abad ke-18, kerajaan Funj mengalami disintegrasi. Sistem perkawinan yang di
bawah naungan kekuasaannya ikut hancur, kerajaan-kerajaanb lokal memperoleh
otonomi. Akhirnya pada tahun 1820-1821 kerajaan funj di perkenalkan
administrasi negara baru dan tendensi keagamaan islam yang baru pula
J. Perkembangan Islam di Amerika
Menurut
beberapa media massa ternyata islam di Amerika berkembang dengan pesat dan
muslim menjadi agama kedua terbesar setelah umat kristiani. Dalam literatur
terdapat suatu anggapan bahwa muslim Amerika pertama adalah imigran Arab dari
kelangan Afro-Amerika dengan cara jual – beli budak. Anggapan ini dibantah oleh
Akbar Muhammad, ia mencatat bahwa orang Amerika pertama yang tercatat sebagai
pemeluk Islam adalah Reverend Norman, seorang misionaris gereja Metodis di
Turki yang memeluk Islam pada tahun 1870. Pada dekade berikutnya seorang Eropa
– Amerika.
Muhammad
Alexander webb memeluk Islam ketika ia bertugas sebagai konsul Jenderal Amerika
Serikat pada tahun 1893. Ia kemudian berperan sebagai da’I (1893) dan
menerbitkan The Moeslem World sebagai media dakwahnya. Disamping dakwah yang
dilaksanakan oleh masyarakat muslim Amerika, usaha lain yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim dalam memperkenalkan Islam di California adalah dengan
mendirikan perpustakaan dengan naa Muslim Public Library. Disamping itu, di
Washington sendiri terdapat Islamic centre, pusat kegiatan Islam yang selama
ini menjadi pusats pedoman untuk berbagai soal penting bagi masyarakat muslim
Amerika Serikat seperti penentuan awal Ramadhan, jatuhnya Hari Raya Idul Fitri
dan jadwal shalawat sehari-hari.
KESIMPULAN
1. Penelitian Agama adalah penelitian
tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama
tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya.
2. Sedangkan penelitian keagamaan adalah
penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia
secara individual dan kolektif
3. Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam yang
pertama
4. Hadist sebagai sumber hukum islam yang
kedua
5. Dan ijma’ apabila tidak ditemukan
penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis atau al-sunnah.
________________________________________
[1]
Atong ABD. Hakim, Jain Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999) hlm. 59
[2]
Praja S., Penelitian Agama, 1997. Hlm. 31-32
[3]
Ali Buyung Sihombing, Baharuddin, Metode Studi Islam, (Bandung: Cita Pustaka
Media, 2005) hlm. 70
[4]
ibid
[5]
Al-Qur’an dan terjemahannya, surah Al fushilat 47: 53
[6]
Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Op Cit. hlm 86
[7]
Fazlur Rahman. Tema Pokok Al-Qur’an, Terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung:
Pustaka, 1995) hlm. 10
[8]
Abdul Majed Mackeen. Some Thoughts on the Theort of the Following Sunnah,
Islamic Quarterly (London: 1984) hlm. 13
[9]
Muhammad Syaltout, Al-Islam Aqiqqah wa syari’ah (Mesir: Dar al Qur’an, 1966)
hlm. 508-10