Wednesday, April 24, 2013

MASUKNYA ISLAM KE PULAU LOMBOK



Dalam Babad Lombok disebutkan, pada abad ke IX-Xl  disebut bahwa kerajaan kerajaan Lombok yang  terakhir adalah Kerajaan Selaparang, dimana kerajaan selaparang mempunya 2 dekade / periode masa pemerintahan. Yang pertama adalah Selaparang periode Hindu/Pra Islam yang memerintah dari abad XIII dan berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Yang Kedua adalah Selaparang Periode Islam yang muncul pada sekitar abad XVI dan berakhir 1740 setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas.

Setelah ekspedisi kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang laksamana Nala yang berlabuh di Pulau Lombok dan Dompu tahun 1357 silam, muncullah kerajaan kerajaan lain di kepulauan Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur, diantaranya adalah Kerajaan Bima Sanggar dan Dompu di daerah Barat, serta Kerajaan Utan Kadali, Saran dan Taliwang di Sumbawa bagian Timur. Sebelum kerajaan kerajaan tersebut ada, penduduk asli pulau ini hanya berupa kelompok kelompok pemukiman kecil yang dipimpin oleh seorang kepala Suku. Di kalangan masayarakat Mbojo kepala suku ini disebut “Niceki” sedangkan di Sumbawa dijuluki “Tau Lokaq” atau bahasa indonesianya “Orang Tua”.
Berkembangnya Agama Islam selama pemerintahan kerajaan “Selaparang Periode Islam“  dan munculnya kerajaan kerajaan lain di daerah Sumbawa ternyata membawa dampak yang luar biasa dalam sejarah Lombok. Perkembangan ini ternyata mampu mempercepat proses runtuhnya Kerajaan Majapahit sehingga kerajaan kerajaan yang masih dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit waktu itu bisa merdeka dan mandiri. Diantaranya adalah Kerajaan Lombok yang berada di Teluk Lombok (Labuan Lombok masa kini), dimana Kerajaan Lombok inilah yang beberapa tahun kemudian dijadikan Basis Islamisasi oleh Sunan Prapen yang merupakan Putra Sunan Giri. Setelah Sunan Prapen menganggap misi dan tugasnya di Lombok berhasil, beliau kemudian meneruskan misi “Islamisasi” tersebut ke pulau Sumbawa dengan hasil yang gemilang pula. Sepeninggalnya Sunan Prapen, atas beberapa pertimbangan dan permintaan yang logis, Prabu Rangkesari (yang menggantikan tugas Prabu Mumbul Sebagai Raja di Kerajaan Lombok waktu itu) kemudian memindahkan Ibukota Kerajaan Lombok yang dulunya berada di Teluk Lombok ke bekas Kerajaan Selaparang Periode Hindu dan mengganti nama Kerajaan Lombok menjadi Kerajaan Selaparang yang akhirnya kemudian dikenal sebagai Kerajaan Selaparang Periode Islam.
BAHASA KAWI DAN SASAK LOMBOK

Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara. Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen.

Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin tulisan Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Para pujangga Lombok di masa lalu juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang di gubah, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. “Danta” artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. “Danti” artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. “Kusuma” artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. “Warsa” artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama), tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin) dan lain lain. Bersambung….
- See more at: http://www.wisatapulaulombok.org/objek-wisata/sejarah-pulau-lombok.html#sthash.iscgCKxs.dpuf