Thursday, January 17, 2013

Pentingnya Taqwa dan Faktor Penunjang Mewujudkannya


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq serta hidayah-Nya, sehingga kita masih dalam keadaan beriman dan berislam.
Selanjutnya, dari atas mimbar Jum’at ini, khotib mewasiatkan kepada diri khatib sendiri dan berikut jama’ahjumat sekalian, marilah, dari sisa-sisa waktu yang Allah berikan ini, kita gunakan untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, yaitu dengan selalu memperhatikan syariat Allah, menerapkan dalam setiap derap langkah hidup kita hingga akhir hayat. Baik berhubungan dengan hal-hal yang wajib, sunnah, haram, makruh, maupun yang mubah. Karena, dengan ukuran inilah prestasi seorang manusia dinilai di hadapan Allah.

Hadirin  Jama'ah Jum'at yang dimuliakan Allah
Pernah suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berwasiat mengenai taqwa, dan kisah ini diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam shalat subuh bersama kami, kemudian memberi nasihat dengan nasihat yang baik yang dapat meneteskan air mata serta menggetarkan hati yang mendengarnya. Lalu berkatalah salah seorang sahabat, “Ya Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir oleh karena itu nasihatilah kami”.
Lalu Nabi bersabda:
أَوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Artinya: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati, sekalipun kepada budak keturunan Habsyi. Maka sesungguhnya barangsiapa di antara kamu hidup pada saat itu, maka dia akan menyaksikan banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu (peganglah sunnah ini erat-erat). Dan berwaspadalah kamu terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad IV:126-127; Abu Dawud, 4583; Tarmidzi, 2676, Ibnu Majah, 43; Ad-Darimi 1:44-45; Al-Baghawi, 1-205, syarah dan As Sunnah, dan Tarmidzi berkata, hadits ini hasan shahih, dan shahih menurut Syaikh Al-Albani).
Hadirin sidang sholat jumat yang berbahagia.
Dalam sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati”, tersebut di atas, seorang ulama Ibnu Rajab berkata, bahwa kedua kata itu yaitu mendengar dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun taqwa merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Para sahabat dan generasi salafus shalih yang memahami betul tuntunan Al-Qur’an dan mengikuti jejak sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap taqwa ini, mereka terus mencari hakikatnya, saling bertanya satu sama lain, serta mereka berusaha keras untuk mencapai derajat taqwa.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Umar bin Khathab ra bertanya kepada Ubai Ibnu Ka’ab ra, tentang taqwa, maka berkatalah Ubai kepada Umar:
“Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”
"Ya, Pernah”. Jawab Umar.
Ubai bertanya lagi: “Apa yang anda lakukan saat itu?”.
Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena dengan duri itu”. Lalu Ubai berkata: “Itulah taqwa”.
Dari riwayat ini kita dapat mengambil pelajaran bersama, bahwa Taqwa itu adalah kesiapan diri, kelembutan perasaan, rasa takut kepada Allah terus menerus, hingga ia selalu waspada dan hati-hati agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat di jalanan. Ia menghindari perbuatan syirik sejauh-jauhnya, juga menghindari semua maksiat dan dosa, yang kecil maupun yang besar. Serta ia juga berusaha keras sekuat tenaga mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala, lahir dan batin dengan hati yang khudlu’ dan merendahkan diri di hadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah
Kata taqwa memang selalu mengawali pesan khatib dalam tiap khutbah jumat yang disampaikan, karena memang sangat pentingnya mewujudkan sebuah ketaqwaan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak sekali faktor-faktor penunjang agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut, di antaranya ada 5 hal penting:
1.      Mahabbatullah atau mencintai Allah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kecintaan kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepada-Nya, bahan penyiramnya adalah dzikir kepada-Nya, kapan saja, jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah”. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
2.      Merasakan adanya pengawasan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
 وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmu-Nya, Dia dengarkan perkataanmu, melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan serta yang kamu fikirkan”. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
3.      Menjauhi penyakit hati
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari penyakit itu semua.
4.      Menundukkan hawa nafsu
Apabila kita mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah:
 وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41)
5.      Mewaspadai tipu daya syaithan
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur, jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan cara yang ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil dengan cara ini ia menggoda dengan perbuatan mubah perkara yang diperbolehkan, sehingga manusia menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika tidak mampu juga maka syaithan akan menyerahkan bala tentaranya untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan silih berganti.
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang berbahagia..
Marilah, kita bersegera kembali menuju ampunan Allah dengan bertaubat, melaksanakan amalan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya. Umat Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnyaadalah dengan menerjemahkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk orang-orang yang digambarkan di dalam Al-Quran dengan tiga kelompok manusia : zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:

Pertama: 
Zhalimun linafsihi adalah orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang di haramkan oleh Allah.

Kelompok kedua adalah Muqtashid, yaitu orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. 


Kelompok ketiga adalah:Sabiqun bil khairat, yaitu orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun di antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syari’at dan aturan dari Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya. Na’udzu billah.
Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”
Semoga Allah mengumpulkan kita dalam umat Rosulullah yang terbaik dan terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Amin

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيم