BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Wudu’
Wudu’
menurut lugot (bahasa) berarti bersih dan indah. Sedangkan menurut syara’
berarti membersihkan anggota–anggota wudu’ untuk menghilangkan hadas kecil. [1]
Wudu’
adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum orang
mengerjakan shalat. Perintah wajib wudu’ ini sebagaimana firman Allah Swt. Yang
bunyina sebagai berikut:
Artinya
:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu akan mengerjakan shalat, basuhlah wajahmu
dan dua tanganmu hingga kedua siku, sapulah kepalamu kemudian basuhlah kedua
kakimu hingga kedua mata kaki”(QS. Al-Ma’idah ,ayat 6)
Tujuan
– Tujuan Wudu’
Ibadah
yang oleh karenanya seseorang berwudu’ disebut tujuan wudu’, dan itu antara
lain adalah :
Shalat
wajib atau sunnah, firman Allah Swt dalam surah Al-maidah ayat 6 :
Tawaf
Menyentuh
tulisan al-qur’an. Telah diriwayatkan dari imam shadiq bahwa beliau berkata
kepadanya Isma’il “Hai anakku, bacalah mushaf!” anaknya berkata, Saya belum
berwudu’1 beliau berkata, “jangan sentuh tulisannya, sentuhlah kertasnya dan
baca.”
Perlu
disebutkan disini bahwa menyentuh al-Qur’an sebenarnya bukan termasuk tujuan
wudu’, karena menyentuh bukan wajib dan bukan pula sunah, jika demikian, wudu’
untuk menyentuh lebih tidak wajib dan lebih tidak sunah lagi, karena sarana
tidaklah wajib bila tanpa tujuan dank arena yang mengikuti tidak akan lebih
dari yang diikuti. Atas dasar ini, wudu’ untuk menyentuh sama sekali tidak
disyariatkan. Kalau begitu, yang dimaksud adalah : orang yang tidak berwudu’
diharamkan baginya menyentuh tulisan Al-Qur’an dan yang berwudu’ untuk tujuan
lain boleh menyentuh tulisan yang suci itu.
Wudu’
untuk iqamah.[2]
Syarat
– Syarat Wudu’
Ada
beberapa syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam berwudu’, diantaranya :
- Air yang digunakan untuk berwudu’
harus air yang mutlaq / suci.
- Air yang halal, bukan hasil ghasab
(hasil curian)
- Suci anggota wudu’ dari najis
- Untuk sah nya wudu’, disyaratkan
adanya waktu yang cukup untuk wudu’ dan salat, dalam arti bahwa setelah
berwudu’ yang bersangkutan masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat yang
dimaksud pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan jika waktunya sempit,
dimana jika ia berwudu’ maka keseluruhan salatnya atau sebahagian salatnya
berada diluar waktu salat yang telah ditentukan, sementara jika ia tayammum
maka keseluruhan salatnya masih bias ia laksanakan, maka dalam hal ini ia wajib
tayammum, maka apabila ia berwudu’, maka batallah wudu’nya.
- Melaksanakan wudu sendiri, tidak
boleh diwakilkan oleh orang lain
- Diwajibkan adanya urutan di antara
anggota – anggota wudu’.
- Wajib bersifat segera. Artinya, tidak
ada tenggang waktu yang panjang dalam membasuh nggota wudu yang satu dengan
yang lain, sebelum kering. Kecuali airnya kering karena terkena sinar matahari,
ataupun panas badan.[3]
Dan
adapun syarat sah wudu’ antara lain:
Islam;
orang yang tidak beragama islam tidak sah melaksanakan wudu’
Tamyiz,
yakni dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan
Tidak
berhadats besar
Dengan
air suci, lagi mensucikan (air mutlak)
Tidak
ada sesuatu yang menghalangi air, sampai ke anggota wudhu, misalnya getah, cat
dan sebagainya
Tidak
ada najis pada tubuh, sehingga merubah salah satu sifat air yang suci lagi
mensucikan.
Fardhu
Wudu’
Fardhu
wudhu ada enam perkara, yakni:
1. Niat: hendaknya berniat menghilangkan
hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada waktu membasuh muka, sesuai
dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi fi’lihi”
Yang
artinya : meniatkan sesuatu secara beriringan dengan perbuatan.
2. Membasuh seluruh muka (mulai dari
tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga
telinga kiri)
3. Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
4. Mengusap sebagian rambut kepala
5. Membasuh kedua belah kaki sampai mata
kaki
6. Tertib (berturut-turut), artinya
mendahulukan mana yang harus didahulukan, dan mengakhirkan mana yang harus
diakhirkan.
E. Sunnah-sunnah Wudhu
Ada
beberapa sunnah dalam melaksanakan wudu’, antara lain :
Membaca
basmallah pada permulaan wudhu
Membasuh
kedua telapak tangan sampai pergelangan
Berkumur-kumur
Membasuh
lubang hidung sebelum berniat
Menyhapu
seluruh kepala dengan air
Mendahulukan
naggota kanan daripada kiri
Menyapu
kedua telinga luar dan dalam
Menigakalikan
membasuh
Menyela-nyela
jari-jari tangan dan kaki
Membaca
doa sesudah wudhu
Namun
ada beberapa hal yang perlu kita ketahui selain sunnah dalam waktu melaksanakan
wudu’, yakni sunah berwudu’.
Tersebut
dalam kitab “Wasa’il al-Syi’ah” dari Syeh Mufid, bahwa Rasulullah Saw bersabda
“Hai Anas, banyak-banyaklah bersuci, maka Allah akan memperpanjang umurmu. Jika
kamu bias senantiasa dalam wudu’ pada malam dan siang hari, kerjakanlah, karena
jika kamu mati dalam keadaan wudu’, maka kamu syahid”
Dari Nabi Saw : “Siapa yang
berhadas dan tidak berwudu’, maka ia telah memutuskan hubungannya denganku”.
Dari imam Shadiq, dari Rasulullah
Saw “ sesungguhnya Alla Swt berfirman “ Rumah-rumah-Ku di buli adalah mesjid
yang menerangi penduduk langit sebagaimana bintang-bintang menerangi penduduk
bumi. Sungguh amat berbahagia seorang hamba yang berwudu’ di rumah-Ku, kemudian
berkunjung kepada-Ku di Rumah-Ku.”
Imam Shadiq berkata, “Wudu’ adalah
setengah iman”
Riwayat-riwayat di atas dan lainnya
menunjukkan bahwa wudu’ disamping merupakan sarana kepada yang lainnya, juga
merupakan tujuan itu sendiri dan mempunyai nilai lebih. Karena itu, seseorang
boleh berwudu sekadar agar ia senantiasa dalam keadaan suci sepanjang hari.
Atas dasar ini maka wudu’ adakalanya wajib untuk lainnya. Seperti : shalat lima
waktu; tawaf wajib, dan nazar. Dan adakalanya sunah karena wudu itu sendiri
atau karena lainny, seperti : salat sunnah dan tawaf sunah. Para fuqaha
mengatakan bahwa wudu’ juga sunah untuk : [4]
- Persiapa shalat sebelum masuk
waktunya
- Masuk masjid
- Masuk tempat-tempat suci
- Sa’I dalam haji
- Shalat Jenazah
- Ziarah Kubur
- Membaca al-Qur’an
- Do’a dan menunaikan hajat
- Sujud syukur
- Azan
- Suami istri dimalam pengantin
- Sebelum tidur
- Sebelum berkumpul dengan istri
- Aktifitas sehari – hari.
Hal
– Hal yang Membatalkan Wudu’
Adapun
hal-hal yang dapat membatalkan wudu’ antara lain:
Keluar
sesuatu dari qubul dan dubur meskipun hanya angina. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt :
Artinya:
………atau dating seorang kamu dari kakus” (Qs. An-Nisa, ayat 43)
Hilang
akal karena gila, pingsan, mabuk, atau tidur nyenyak.
Sabda
Nabi Saw :
Artinya
: dari Muawiyah berkata : bahwasanya Rasulullah telah bersabda “ Mata itu
pengikat dubur, apabila telah tidur dua mata, terlepaslah pengikat itu”.(HR.
Ahmad dan Thabrani)
Bersentuhan
kulit anatara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan tidak memakai
tutup.
Firman
Allah Swt :
Artinya:
………atau bersentuhan dengan kulit perempuan (yang bukan muhrim)(QS.Annisa ayat
43)
Tersenth
kemaluan (qubul dan dubur) dengan tapak tangna atau jari yang tidak memakai
tutup.
Artinya
“dari Busrah binti Shafyan r.a. bahwasana Rasulullah Saw bersabda :
“barangsiapa yang menyentuh kemaluaannya hendaklah ia berwudu’
(H.R.
Lima Ahli Hadits)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berwudhu
adalah tindakan yang harus dilakukan seorang Muslim sebelum melaksanakan
shalat, karena wudhu sendiri merupakan salah satu syarat sah shalat.
Pengertian
wudhu sendiri menurut syara’ adalah, membersihkan anggota wudhu untuk
menghilangkan hadats kecil.
Fardhu
Wudu’ ada 6 yakni :
1.
Niat: hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat
pada waktu membasuh muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri :
2.
Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu,
dan dari telinga kanan hingga telinga kiri)
3.
Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
4.
Mengusap sebagian rambut kepala
5.
Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
6.
Tertib (berturut-turut), artinya mendahulukan mana yang harus didahulukan, dan
mengakhirkan mana yang harus diakhirkan.
Dan
wudu’ juga disunah kan untuk hal-hal beribadah yang lain, yang mengandung nilai
– nilai kebajikan di luar dari pada ibadah shalat wajib, karena wudu’ adalah
cahaya dan menjadi Shilahul Mu’minin.
[1]
Drs. H. Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap. (Semarang : PT. Karya Toha
Putra, 1978). Hlm. 63
[2]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Terjemahan. (Jakarta : Dar
al-Jawad,1984) hlm. 48
[3]
Ibid. hal 52
[4]
Op. Cit. Hlm 49